Guys,
mungkin saat kita ngomongin soal politik, timbul difikiran kita bahwa politik
itu serat dengan kotornya tangan para Pejabat negeri, padahal nih ya politik
dalam islam itu merupakan suatu aktivitas yang amat mulia karena didalamnya
kita mengurusi kehidupan orang banyak (umat) tapi kenyataanya dalam politik
Demokrasi, poitik itu nista ya memang benar, lihat saja kedaan negeri kita sekarang ini, carut marut.
Namun
bukan itu topik kita saat ini. Pertama – tama kita akan mengenal terlebih
dahulu fungsi atau tugas sebuah partai politik. Dan satu lagi sob, baca artikel
ini jangan sampe tidur kaya pejabat yang duduk disisono ya…
Makna dan Fungsi Partai Politik Kini
Partai politik dalam era modern
dimaknai sebagai suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya
mempunyai orientasi, nilai-nilai, dan cita-cita yang sama. Tujuannya adalah
untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik untuk
melaksanakan kebijakan-kebijakan mereka (Miriam Budiardjo, 1998, Dasar-Dasar
Ilmu Politik, Gramedia). Dilihat dari pengertian tersebut, ada beberapa
unsur penting yang ada dalam partai politik, yaitu: orang-orang, ikatan antara
mereka hingga terorganisir menjadi satu kesatuan, serta orientasi, nilai,
cita-cita, tujuan dan kebijaksanaan yang sama.
Dalam praktek kekinian, setidaknya
ada empat fungsi partai politik, yaitu:
Pertama, partai sebagai sarana komunikasi politik. Partai
menyalurkan aneka ragam pendapat dan aspirasi masyarakat. Partai melakukan
penggabungan kepentingan masyarakat (interest aggregation) dan
merumuskan kepentingan tersebut dalam bentuk yang teratur (interest
articulation). Rumusan ini dibuat sebagai koreksi terhadap kebijakan
penguasa atau usulan kebijakan yang disampaikan kepada penguasa untuk dijadikan
kebijakan umum yang diterapkan pada masyarakat.
Kedua, partai sebagai sarana sosialisasi politik. Partai
memberikan sikap, pandangan, pendapat, dan orientasi terhadap fenomena
(kejadian, peristiwa dan kebijakan) politik yang terjadi di tengah masyarakat.
Sosialisi politik mencakup juga proses menyampaikan norma-norma dan nilai-nilai
dari satu generasi ke generasi berikutnya. Bahkan, partai politik berusaha
menciptakan image (citra) bahwa ia memperjuangkan kepentingan umum.
Ketiga, partai politik sebagai sarana rekrutmen politik. Partai
politik berfungsi mencari dan mengajak orang untuk turut aktif dalam kegiatan
politik sebagai anggota partai.
Keempat, partai politik sebagai sarana pengatur konflik. Di tengah
masyarakat terjadi berbagai perbedaan pendapat, partai politik berupaya untuk
mengatasinya. Namun, semestinya hal ini dilakukan bukan untuk kepentingan
pribadi atau partai itu sendiri melainkan untuk kepentingan umum.
Belajar dari Realitas Partai
Indonesia adalah negeri Muslim
terbesar di dunia. Tapi, sungguh ironis, Islam malah dipinggirkan. Mengapa?
Pertama, partai-partai yang berkuasa lebih bercorak sekular dan
kebangsaan. Konsekuensinya, aturan-aturan yang diterapkan adalah aturan-aturan
sisa peninggalan penjajah Belanda. Sistem ekonomi yang dipraktekkan pun ekonomi
Kapitalistik yang secara intrinsik meniscayakan kesenjangan yang hebat antara
kaya dengan miskin. Kekayaan alam milik rakyat pun dibiarkan dikuasai asing dan
para saudagar dalam negeri. Semuanya legal karena ditopang oleh perundang-undangan
yang dibuat oleh wakil-wakil partai-partai tersebut yang duduk di
parlemen.
Kedua, partai-partai Islam yang ada tidak memiliki konsepsi (fikrah)
yang jelas dan tegas. Sebagai contoh, ketika mensikapi fenomena kepala negara
perempuan hanya berkomentar, “Ini masalah fikih. Semua terserah rakyat.” Pada
waktu didesak pendapatnya tentang syariah Islam, menjawab, “Syariah Islam
itu kan keadilan, kebebasan, dan kesetaraan.” Kalau begitu, tidak ada
bedanya dengan partai-partai umumnya. Ketika ramai membincangkan amandemen UUD
1945 tentang dasar negara, sebagian menyatakan, “Partai kami tidak akan
mendirikan Negara Islam”, “Kembali kepada Piagam Jakarta”, dan
partai Islam lainnya menyatakan ‘Indonesia ini plural harus kembali ke
Piagam Madinah di mana tiap agama menjalankan hukum masing-masing’. Sikap
demikian membuat umat menyimpulkan tidak ada bedanya antara partai yang
menamakan partai Islam dengan partai lainnya.
Ketiga, partai-partai secara umum hanya diperuntukkan bagi
pemenangan Pemilu. Kegiatannya terkait persoalan rakyat hanya digiatkan
menjelang Pemilu. Dalam kurun waktu antara dua Pemilu, umumnya partai kurang
aktif. Kalaupun aktif lebih disibukkan dengan aktivitas Pilkada untuk
menggoalkan calonnya. Interpelasi masalah beras atau Bantuan Likuiditas Bank
Indonesia (BLBI) hanya panas-panas tahi ayam. Ujungnya, tidak ada penyelesaian.
Keempat, tidak menjalankan metode yang jelas. Untuk melakukan
perubahan di tengah masyarakat ditempuh dengan membuat undang-undang. Namun,
jalannya dengan kompromi dan tambal sulam. Bahkan, berkoalisi antara partai
Islam dengan partai nasionalis yang anti Islam, bahkan partai kristen yang
jelas-jelas memproklamirkan dirinya ‘konsisten menentang syariah’. Kalaupun
menyatakan ‘partai nasionalis relijius’ tidak jelas apa maksudnya. Dengan
perilaku demikian rakyat tidak melihat ada bedanya antara partai Islam dengan
partai nasionalis, misalnya.
Kelima, tidak adanya ikatan yang kuat di antara para anggotanya.
Ikatan yang ada lebih pada kepentingan. Muncullah perpecahan di dalam tubuh
partai-partai Islam atau berbasis massa umat Islam.
Keenam, perilaku sebagian anggota/pengurus tidak mencerminkan
partai Islam sesungguhnya. Aliran dana untuk DPR termasuk yang ‘tidak jelas
asalnya’, juga diterima oleh sebagian partai Islam. Alasannya, nanti akan
dikembalikan kepada rakyat yang menjadi konstituennya. Hal ini menambah
pemahaman masyarakat tentang sulitnya membedakan antara partai Islam dengan
partai bukan Islam.
Inilah beberapa penyebab kegagalan
partai, khususnya partai Islam. Karenanya, siapapun harus belajar dari
kesalahan-kesalahan tersebut.
Memaknai Partai Politik Islam
Pengertian dan fungsi partai politik
yang disampaikan di muka sangatlah umum. Visi dan misinya amat terbuka, bisa
berdasarkan Sekular-Kapitalis, Sosialis/Komunis, atau Islam. Lalu, bagaimana
cara untuk mewujudkan partai yang benar?
Terlebih dahulu, penting untuk
didudukkan apa hakikat partai politik (hizbun siyasiy) dalam sudut
pandang Islam. Secara bahasa, kata hizb dipakai dalam beberapa ayat
al-Quran. Di antaranya, Imam Jalalain dalam memaknai kata ’hizb
(hizbullah)’ dalam surat al-Maidah ayat 56 dan Mujadilah ayat 22 sebagai atba’uhu
(pengikutnya) serta orang-orang yang mengikuti perintah-Nya dan menjauhi
larangan-Nya. Imam al-Qurthubiy dalam tafsirnya memaknai kata hizb
dalam surat al-Maidah ayat 56, Al-Mukminun ayat, 53 dan
Mujadilah ayat 19 sebagai penolong, sahabat, kelompok (fariq), millah,
kumpulan orang (rohth). Sementara itu, dalam kamus Al-Muhit,
disebutkan: “Sesungguhnya partai adalah sekelompok orang. Partai adalah
seorang dengan pengikut dan pendukungnya yang punya satu pandangan dan satu
nilai’’. Imam Ar-Razi dalam tafsirnya Mafatih Al-Ghaib
berkata, “Partai adalah kumpulan orang yang satu tujuan, mereka bersama-sama
bersatu dalam kewajiban partai untuk mewujudkan tujuannya”.
Adapun terkait makna politik (siyasah)
disebutkan dalam kamus Al-Muhit bahwa As-Siyasah (politik)
berasal dari kata: Sasa –Yasusu – Siyasatan bi ma’na ra’iyatan
(pengurusan). Al-Jauhari berkata: sustu ar-raiyata siyasatan
artinya aku memerintah dan melarang kepadanya atas sesuatu dengan sejumlah
perintah dan larangan). Wa as-siyasah maksudnya: al-qiyamu ‘ala
syaiin bima yashluhuhu (siyasah/politik adalah melakukan sesuatu yang
memberi mashlahat padanya) (Lisanul Arab, Ibn Mandzur). Dengan
demikian, politik/siyasah bermakna mengurusi urusan berdasarkan suatu aturan
tertentu yang tentu berupa perintah dan larangan.
Rasulullah SAW menggunakan kata siyasah
(politik) dalam sabdanya:
»كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ
تَسُوسُهُمْ الأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ
نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ
لاَ نَبِيَّ بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ
فَيَكْثُرُونَ«
Adalah Bani Israil, urusan mereka
diatur (tasusuhum) oleh para Nabi. Setiap seorang Nabi wafat, digantikan oleh
Nabi yang lain. Sesungguhnya tidak ada Nabi sesudahku, dan akan ada para
khalifah yang banyak (HR. Bukhari).
Di dalam kitab Fath al-Bariy,
pada syarah hadits ini , dijelaskan makna siyasah (politik):
( تسوسهم الأنبياء) أي أنهم كانوا إذا
ظهر فيهم
فساد بعث الله لهم نبيا لهم يقيم
أمرهم ويزيل ما
غيروا من أحكام التوراة , وفيه إشارة
إلى أنه لا بد
للرعية من قائم بأمورها يحملها على
الطريق
الحسنة وينصف المظلوم من الظالم
“(Mereka diurus oleh para Nabi),
maksudnya, tatkala tampak kerusakan di tengah-tengah mereka, Allah pasti
mengutus kepada mereka seorang Nabi yang menegakkan urusan mereka dan
menghilangkan hukum-hukum Taurat yang mereka rubah. Di dalamnya juga terdapat
isyarat, bahwa harus ada orang yang menjalankan urusan di tengah-tengah rakyat
yang membawa rakyat melewati jalan kebaikan, dan membebaskan orang yang
terzalimi dari pihak yang zhalim”
Berdasarkan makna hizbun
(partai) dan siyasah (politik) tadi, maka dapat disebutkan bahwa partai
politik (hizbun siyasiy) merupakan suatu kelompok yang terorganisir yang
anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, cita-cita dan tujuan yang
sama dalam rangka mengurusi urusan rakyat. Dengan kata lain, partai politik
adalah kelompok yang berdiri di atas sebuah landasan ideologi yang diyakini
oleh anggota-anggotanya, yang ingin mewujudkannya di tengah masyarakat.
Karakteristik Partai Politik Islam
Allah SWT mengisyaratkan hal ini
didalam firman-Nya:
Dan hendaklah ada di antara kamu
segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma`ruf dan
mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung (TQS. Ali ’Imran[3]: 104).
Imam Al-Qurthubi mendefinisikan kata (أمة)dalam
tafsir al-Jami’ li Ahkam Al-Quran, sebagai sekumpulan orang yang terikat
dalam satu akidah. Tetapi, menurutnya, umat dalam surat Ali ‘Imran ayat 104 ini
juga bermakna kelompok karena adanya lafadz “minkum” (di antara kalian).
Imam Ath-Thabari, seorang faqih dalam tafsir dan fiqh, berkata dalam
kitabnya Jami’ Al-bayan tentang arti ayat ini yakni: ‘’(Wal takun
minkum) Ayuhal mu’minun (ummatun) jama’atun‘’, artinya: “Hendaknya ada di
antaramu(wahai orang-orang beriman) umat )jama’ah
yang mengajak pada hukum-hukum Islam(”.
Al-Qadhi Al-Baydhawi dalam kitabnya, Tafsir al-Baidhawi tentang
arti ayat ini menyatakan: Lafadz Min —dalam ayat tersebut— mempunyai
konotasi li at-tab’idh (menujukkan makna sebagian). Karena amar makruf
dan nahi munkar merupakan fardhu kifayah.
Disamping karena aktivitas tersebut
tidak bisa dilakukan oleh setiap orang, ketika orang yang diperintah oleh nash
tersebut harus mempunyai sejumlah syarat, yang tidak bisa dipenuhi oleh
semua orang. Seperti pengetahuan tentang hukum, tingkat kecakapan, tatacara
menunaikannya dan kemampuan melaksanakannya. Perintah tersebut memang
menyerukan kepada seluruhnya (umat Islam), namun yang diminta mengerjakannya
hanya sebagian dari mereka. Itu membuktikan, bahwa perintah tersebut wajib
untuk seluruhnya, sehingga ketika mereka meninggalkan pokok kewajiban tersebut,
semuanya berdosa. Namun, kewajiban tersebut dinyatakan gugur dengan dikerjakan
oleh sebagian di antara mereka. (Al-Baidhawi, Tafsir al-Baidhawi, juz
I, hal. 374).
Pada titik terakhir ini, Imam
as-Syathibi memberikan penegasan, “Pada dasarnya mereka (kaum Muslim)
dituntut untuk menunaikannya secara keseluruhan. Namun, mereka ada yang mampu
melaksanakannya secara langsung. Mereka inilah orang-orang berkompeten untuk
melaksanakannya. Sedangkan yang lain, meski mereka tidak mampu, tetapi tetap
mampu menghadirkan orang-orang yang berkemampuan.
Jadi, siapa saja yang mampu
menjalankan pemerintahan (wilayah), dia dituntut untuk melaksanakannya.
Bagi yang tidak mampu, dituntut untuk melakukan perkara lain, yaitu
menghadirkan orang yang mampu dan memaksanya untuk melaksanakannya.
Kesimpulannya, yang mampu dituntut untuk menjalankan kewajiban tersebut,
sementara yang tidak mampu dituntut untuk menghadirkan orang yang mampu.
Alasannya, karena orang yang mampu tersebut tidak akan ada, kecuali dengan
dihadirkan. Ini merupakan bagian dari Ma la yatimmu al-wajib illa bihi,
yaitu kewajiban yang hanya bisa dijalankan dengan sempurna dengan adanya
perkara tadi.” (as-Syathibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah, juz
I, hal. 128-129)
Ringkasnya, di dalam ayat itu
disebutkan ‘Hendaknya ada di antara kamu segolongan umat …’, artinya, hendaknya
ada sekelompok/segolongan orang dari kaum Muslim (ummatan minal muslimin
atau jama’atan minal muslimin). Ayat ini menegaskan perintah kepada kaum
Muslim tentang keharusan adanya kelompok/jama’ah. Kelompok untuk apa? Untuk
menjalankan dua fungsi: pertama, da’wah ilal khair
(menyeru kepada al-khoir) dan kedua, amar ma’ruf nahi munkar
(memerintahkan yang ma’ruf dan mencegah dari perkara munkar).
Kata al-khair dalam frase da’wah
ilal khair menurut tafsir Jalalain berarti al-Islam (Tafsir al-Quran
al-’Azhim li al-imamain Jalalain, hal. 58), sehingga makna da’wah ilal
khair adalah mendakwahkan/menyeru manusia kepada Islam. Sementara itu, Imam
Ibnu Katsir menyebutkan bahwa al-khair adalah mengikuti al-Quran
dan as-Sunnah. Maksud ayat tersebut, lanjutnya adalah hendaknya ada dari umat
ini suatu kelompok yang solid dalam menjalankan tugas tersebut sekalipun hal
itu juga merupakan kewajiban atas setiap individu umat ini (Ibn Katsir, Tafsir
al-Quran al-’Azhim, Juz I, hal. 478). Berdasarkan hal ini, jelaslah
kelompok yang dikehendaki Allah adalah kelompok yang secara penuh berjuang
untuk menyerukan Islam.
Pada sisi lain, kelompok tersebut
berbentuk partai politik. Hal ini dipahami dari fungsi kedua dari kelompok itu,
yaitu amar ma’ruf nahi munkar. Cakupan amar ma’ruf nahi munkar
amat luas, termasuk di dalamnya menyeru para penguasa agar mereka berbuat
ma’ruf (melaksanakan syariah Islam) dan melarangnya berbuat munkar (menjalankan
sesuatu yang bertentangan dengan syariah Islam). Bahkan, mengawasi para
penguasa dan menyampaikan nasihat kepadanya merupakan bagian terpenting dari
aktivitas amar ma’ruf nahi munkar.
Padahal, aktivitas demikian
merupakan aktivitas politik sekaligus termasuk kegiatan politik yang amat
penting, yang menjadi ciri utama kegiatan sebuah partai politik. Jadi, ayat
tersebut mengisyaratkan tentang kewajiban mendirikan partai-partai politik yang
berdasarkan Islam. Dengan kata lain, partai politik yang harus ada adalah
partai politik yang tegak di atas ideologi (mabda) Islam atau partai
Islam ideologis.
Berdasarkan hal tersebut, partai
politik Islam adalah partai yang berideologi Islam, mengambil dan menetapkan
ide-ide, hukum-hukum dan pemecahan problematika dari syariah Islam, serta
metode operasionalnya mencontoh metode (thariqah) Rasulullah SAW.
Partai politik Islam adalah partai
yang berupaya menyadarkan masyarakat dan berjuang bersamanya untuk melanjutkan
kehidupan Islam. Partai politik Islam tidak ditujukan untuk meraih suara dalam
Pemilu atau berjuang meraih kepentingan sesaat, melainkan partai yang berjuang
untuk merubah sistem Sekular menjadi sistem yang diatur oleh syariah Islam.
Orang-orang, ikatan antara mereka hingga terorganisir menjadi satu kesatuan,
serta orientasi, nilai, cita-cita, tujuan dan kebijaksanaan yang sama semuanya
haruslah didasarkan dan bersumber dari Islam. Karenanya, partai Islam yang ideologis
memiliki beberapa karakter, di antaranya:
1.Dasarnya adalah Islam. Hidup matinya adalah untuk Islam.
2.Orang-orangnya adalah orang-orang yang berkepribadian
Islam. Mereka berpikir berdasarkan Islam dan berbuat berdasarkan Islam. Partai
politik Islam terus menerus melakukan pembinaan kepada para anggotanya hingga
mereka memiliki kepribadian Islam sekaligus memiliki pemikiran, perasaan,
pendapat dan keyakinan yang sama, sehingga orientasi, nilai, cita-cita dan
tujuannya pun sama. Merekapun menjadi sumberdaya manusia (SDM) yang siap untuk
menerapkan syariah Islam. Pada saat yang sama, ikatan yang menyatukan mereka
bukan kepentingan atau uang melainkan akidah Islamiyah.
3.Memiliki amir/pemimpin partai yang menyatu dengan
pemikiran Islam dan dipatuhi selama sesuai dengan Al-Quran dan Sunnah. Nabi SAW
bersabda, “Jika kalian bertiga dalam satu safar, tunjuklah amir satu di
antaramu” (HR Muslim).
4.Memiliki konsepsi (fikrah) yang jelas terkait
berbagai hal. Partai Islam haruslah memiliki konsepsi (fikrah) yang
jelas tentang sistem ekonomi, sistem politik, sistem pemerintahan, sistem
sosial, sistem pendidikan, politik luar negeri, dll. Semuanya harus tersedia
dan siap untuk disampaikan. Konsepsi inilah yang disosialisasikan kepada
masyarakat hingga mereka menjadikan penerapan semua sistem Islam tersebut
sebagai kebutuhan bersama. Syariah Islam inilah yang diperjuangkan untuk
ditegakkan. Pada sisi lain, konsepsi tidak akan dapat dilakukan kecuali adanya
metode pelaksanaan (thariqah). Dan metode pelaksanaan hukum Islam
tersebut adalah melalui pemerintah yang menerapkan Islam. Upaya mewujudkan
pemerintahan yang menerapkan hukum Islam (khilafah) tersebut merupakan arah
yang dituju partai Islam.
5.Mengikuti metode yang jelas dalam perjuangannya
sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah SAW. Pertama, melakukan
pembinaan dan pengkaderan. Kedua, bergerak dan bergaul bersama dengan
masyarakat. Ketiga, menegakkan syariah secara total dengan dukungan dan
bersama dengan rakyat.
6.Melakukan aktivitas:
a.Membangun
tubuh partai dengan melakukan pembinaan secara intensif sehingga menyakini
ide-ide yang diadopsi oleh partai.
b.Membina
umat dengan Islam dan pemikiran, ide serta hukum syara’ yang diadopsi oleh
partai, sehingga tercipta opini tentang syari’at Islam sebagai solusi untuk
menyelesaikan masalah umat dan keharusan menerapkan syariah Islam dalam wadah
Khilafah.
c.Melakukan
perang pemikiran dengan semua ide, pemikiran, aturan yang bertentangan dengan
Islam.
d.Melakukan
koreksi terhadap penguasa yang tidak menerapkan Islam atau menzhalimi rakyat.
e.Perjuangan
politik melawan negara kafir penjajah dan para penguasa yang zhalim.
Arah Jalan
Secara umum ada dua jalan yang
ditempuh dalam perjuangan merubah sistem Sekular menjadi Islam. Pertama, jalan
parlemen. Jalan ini menggunakan logika linier, yaitu partai politik ikut dalam
parlemen untuk merumuskan perundang-undangan yang sesuai dengan syariah. Dengan
demikian, sistem akan berubah.
Fakta menunjukkan perubahan total
tidak pernah terjadi melalui jalan parlemen. Kalaupun bisa terjadi bersifat
parsial. Karenanya, perjuangan melalui parlemen bukanlah metode untuk melakukan
perubahan total.
Parlemen tidak dapat dijadikan
sebagai metode perubahan. Sebab, metode perubahan melalui parlemen hanya
bersifat teoritis belaka bukan praktis. Selain itu, pemilu bukanlah metode
perubahan yang telah ditempuh oleh Rasul saw. ketika mendirikan pemerintahan
Islam. Selain itu, fakta di Indonesia juga menunjukkan bahwa partai-partai
politik dan anggota parlemen sejak awal telah melihat keharusan mereka untuk
terikat dengan Sekularisme Kapitalisme beserta produk perundangan-undangannya.
Ini artinya, pemilu di Indonesia tidak diadakan dalam rangka melakukan
perubahan mendasar apapun.
Pada sisi lain dilihat dari
faktanya, parlemen itu memiliki tiga fungsi, yaitu:
1.Membuat undang-undang dasar dan undang-undang serta
mengesahkan berbagai kesepakatan, rancangan undang-undang, dan berbagai
perjanjian yang lain.
2.Mengangkat kepala negara –di beberapa negara, dia dipilih
secara langsung oleh rakyat– dan memberikan mandat kepadanya untuk menjalankan
pemerintahan.
3.Melakukan pengawasan, koreksi, dan kontrol kepada
pemerintah dan lembaga-lembaga pemerintahan.
Partai Islam ditujukan untuk
menerapkan Islam secara kaffah, karenanya partai yang membuat
undang-undang sekular, melalui wakilnya yang duduk di parlemen,
bertentangan dengan fakta partai Islam itu sendiri. Lebih dari itu, dalam
pandangan Islam, manusia tidak berhak membuat hukum dan undang-undang. Yang
berhak membuat hukum perundang-undangan itu hanyalah Allah SWT. Allah
berfirman:
إِنِ الْحُكْمُ إِلاَّ ِللهِ
Kuputusan (hukum) itu hanyalah
kepunyaan Allah. (TQS. Yûsuf [12]: 40)
Begitu juga pemberian mandat kepada
pemerintah yang tidak berhukum dengan hukum Allah, jelas hukumnya haram, tidak
boleh dilakukan oleh partai Islam. Allah SWT menegaskan hal ini dalam
firmanNya:
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ
اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
Barang siapa tidak berhukum kepada
apa yang diturunkan Allah (syariah Islam), maka mereka termasuk orang-orang
kafir. (TQS. al-Mâidah [5]: 44)
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ
اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُوْنَ
Barang siapa yang tidak berhukum
dengan hukum yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang zalim. (TQS. al-Mâ’idah [5]: 45)
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ
اللهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
Barang siapa tidak berhukum kepada
apa yang diturunkan Allah (syariah Islam), maka mereka termasuk orang-orang
fasiq” (TQS. al-Mâidah [5]: 47)
Adapun aktivitas pengawasan,
koreksi, dan kontrol kepada pemerintah dan lembaga-lembaga pemerintahan
merupakan kewajiban yang harus dilakukan, termasuk oleh partai politik.
Caranya, bisa dari luar parlemen, bisa juga dari dalam parlemen. Karena itu,
siapapun yang ada di dalam parlemen harus menjadikannya sebagai mimbar dakwah
dalam rangka melakukan koreksi (muhasabah) bagi penguasa. Satu hal yang
penting dicatat adalah parlemen sebagai mimbar dakwah hanyalah salah satu
teknik (uslub) saja dalam melakukan koreksi pada penguasa.
Jalan kedua adalah jalan yang
merupakan metode perubahan. Metode ini adalah metode yang ditempuh oleh
Rasulullah SAW. Metode tersebut berupa pembinaan umat Islam dan berinteraksi
dengan mereka hingga terbentuk kesadaran umum pada diri mereka. Bukan sembarang
kesadaran melainkan kesadaran bahwa mereka adalah umat terbaik yang dilahirkan
untuk seluruh umat manusia, dan kesadaran bahwa agama Islam yang telah
diturunkan oleh Allah kepada Muhammad adalah risalah paripurna yang mengatur
seluruh aspek kehidupan. Umat pun menjadi sadar bahwa Allah akan
memenangkannya atas semua agama dan ideologi, termasuk atas demokrasi
Barat.
Agama inilah satu-satunya yang akan
membebaskan manusia dari kegelapan menuju cahaya Islam. Tidak berhenti sampai
di situ, muncul pula kesadaran bahwa masalah utama umat Islam saat ini adalah
mengembalikan Khilafah Islam yang akan menerapkan syariah Allah di dalam
negeri, mengemban risalah ke seluruh dunia, serta menyatukan kaum Muslim di
bawah panji La ilaha illallah. Umat juga sadar bahwa mengembalikan
Khilafah itu harus dilakukan melalui thalab an-nushrah (aktivitas
mencari pertolongan) dari para pemilik kekuatan (ahlul quwwah), bukan
melalui pemilihan umum. Partai politik Islam melakukan proses penyadaran pada
semua lini masyarakat.
Dalam prakteknya, partai Islam tidak
lepas dari langkah-langkah berikut:
1.Dimulai dengan pembentukan kader yang berkepribadian Islam
(Syakhshiyyah Islamiyyah), melalui pembinaan intensif (halqah
murakkazah) dengan materi dan metode tertentu. Proses ini akan menjadikan
rekrutmen kader politik tidak pernah surut. Bukan kader yang berambisi untuk
mendapatkan kursi melainkan kader perjuangan dalam menegakkan Islam demi kemaslahatan
manusia.
2.Pembinaan umat (tatsqif jamaiy) untuk terbentuknya
kesadaran masyarakat (al-wa’yu al-am) tentang Islam. Pembinaan ini harus
menghubungkan realitas yang terjadi dengan pandangan dan sikap Islam terhadap
realitas tersebut. Misalnya, memperbincangkan dengan masyarakat persoalan
kenaikan harga listrik, BBM, penjualan kekayaan rakyat kepada asing, tekanan
Dana Moneter Internasional (IMF), penghinaan terhadap Nabi/al-Quran/Islam, dll,
disertai penjelasan hukum Islam tentang masalah tersebut. Partai membuat
komentar, analisis, dan sikap politik terkait hal-hal tersebut lalu disampaikan
kepada rakyat. Juga, dilakukan koreksi terhadap kebijakan penguasa serta
membongkar rencana jahat negara asing. Dengan cara seperti ini rakyat akan
memiliki sikap politik sesuai dengan pandangan Islam terhadap berbagai
peristiwa yang terjadi. Dengan pembinaan ini pula terjadi transfer nilai-nilai
dan hukum Islam dari generasi ke generasi. Partai Islam sehari-hari berada di
tengah rakyat.
3.Pembentukan kekuatan politik melalui pembesaran tubuh
partai (tanmiyatu jismi al-hizb) agar kegiatan pengkaderan dan pembinaan
umum dapat dilakukan dengan lebih intensif, hingga terbentuk kekuatan politik (al-quwwatu
al-siyasiya). Kekuatan politik adalah kekuatan umat yang memilliki
kesadaran politik Islam (al-wa’yu al-siyasiy al-islamy), yakni kesadaran
bahwa kehidupan bermasyarakat dan bernegara harus diatur dengan syariah Islam.
Maka harus ada upaya terus menerus penyadaran politik Islam kepada masyarakat,
yang dilakukan oleh kader. Makin banyak kader, makin cepat kesadaran terbentuk
sehingga kekuatan politik juga makin cepat terwujud. Di sinilah agregasi dan
artikulasi kepentingan rakyat terjadi. Apa yang menjadi kepentingan rakyat
tersebut tidak lepas dari tuntutan dan tuntunan aturan Islam. Dengan cara
seperti ini terjadi komunikasi politik dan sosialisi politik antara partai
dengan rakyat hingga massa umat memiliki kesadaran politik.
Pemikiran
partai Islam tentu berbeda dengan partai Sekular-Kapitalis-Liberal maupun
Sosialis-Komunis. Sebagai contoh, dalam masalah ekonomi, partai sekular
menjadikan seluruh aset produksi, termasuk sumber daya alam (SDA) dibiarkan
dikuasai oleh individu atau swasta berdasarkan mekanisme pasar. Sementara
partai Sosialis menjadikan negara sebagai aktor tunggal aktivitas ekonomi,
sehingga semua aset produksi, termasuk sumber daya alam (SDA) dimonopoli oleh
negara. Rakyat pun tidak boleh memiliki aset produksi apapun. Adapun partai
Islam, menjadikan aset produksi, termasuk sumber daya alam (SDA), sesuai dengan
mekanisme hukum syara’, yang terbagi dalam tiga jenis kepemilikan, yaitu
kepemilikan individu, umum dan negara. Ada juga partai yang tidak memiliki
konsep apapun tentang masalah tersebut, maka senyatanya ia bukanlah partai,
atau sekadar partai papan nama.
4.Massa umat yang memiliki kesadaran politik menuntut
perubahan ke arah Islam. Di sinilah penggabungan kepentingan (interest
aggregation) dan perumusan kepentingan (interest articulation)
dilandaskan pada Islam dan diperjuangkan bersama antara partai dengan
rakyat.
5.Penyampaian Islam pun ditujukan kepada ahl-quwwah dan
pihak-pihak yang berpengaruh seperti politisi, orang kaya, tokoh masyarakat,
media massa dan sebagainya. Melalui pendekatan intensif ahl-quwwah setuju
dan mendukung perjuangan partai bersama rakyat. Kekuatan politik yang didukung
oleh berbagai pihak semacam ini tidak akan terbendung.
6.Sistem (syariah) dan kekuasaan (khilafah atau penyatuan ke
dalam khilafah) Islam tegak melalui jalan umat.
Jalan tersebut merupakan jalan yang
didasarkan pada kesadaran masyarakat dan perjuangan bersama antara partai
dengan umat sehingga dikenal dengan jalan ‘an thariq al-ummah (melalui
jalan umat). Tampak, jalan tersebut merupakan jalan damai dan alami. Tidak ada
sesuatu yang perlu ditakutkan atau dikhawatirkan. Sebab, inti dari metode itu
adalah kesadaran umat dan tuntutan umat demi kemaslahatan umat.
Kemasalahatan umat itu bukanlah
sekadar persoalan moralitas dan sentimen keagamaan. Namun, Partai politik Islam
juga memiliki solusi syariah yang cerdas, dan bisa diterapkan oleh negara,
seperti menjamin kebutuhan pokok (sandang, pangan, dan papan) tiap individu
masyarakat. Mekanisme ini dilakukan setelah secara individu, seseorang tidak
mampu memenuhinya, dan keluarga dekatnya tidak mampu memenuhinya. Selain itu,
Islam juga menjamin kebutuhan kolektif, seperti pendidikan, kesehatan dan
keamanan gratis sebagaimana yang banyak dinyatakan dalam al-Quran dan hadits
Nabi.
Demikianlah
seharusnya partai politik Islam. Kehadirannya didambakan oleh rakyat yang
menginginkan hidup sejahtera di dunia dan akhirat. Moga bermanfaat.
Bagikan
Partai Politik Menurut Kaca Mata Islam
4/
5
Oleh
Harun Tsaqif