Sebenarnya saya sudah ada niat
beberapa waktu lalu untuk menuliskan ini, tapi rasa-rasanya waktu belum
menyempatkan tempatnya untuk menceritakan apa yang saya rasakan setelah membaca
novel maha karya dari Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau biasa dikenal dengan
Buya Hamka. Novel ini diberi judul, Tenggelamnya Kapal Van der Wijck, sebuah
kisah klasik yang ditulis dan belatarbelakang pada tahun 1930 di Negeri
Minangkabau.
Perasaan saya setelah membaca buku ini bercampur aduk antara
bahagia dan sedih. Bahagia karena ada seseorang yang telah menuliskan cerita seapik
ini, sedih karena beliau telah wafat tiga puluh delapan tahun yang lalu.
Jujur,
saya lebih menyukai untuk menyimpan apa yang saya rasakan setelah membaca buku
terlebih bergenre fiksi, tetapi buku ini berhasil ‘memaksa’ saya untuk
menuliskannya, insya Allah mudah-mudahan ada manfaat yang bisa kita dapat
didalamnya.
Terusir
Beberapa
tahun lalu mungkin kita sempat mendengar kalimat guyon “Hayati lelah bang!”, “Iya bang Zainudin,” dan mungkin ada kalimat
lainnya yang saya tidak terlalu ngeh
atau hafal kalau sebenarnya ia adalah
plesetan dari kisah yang akhirnya difilmkan tersebut. Di novel ini pemeran
utama adalah seorang pemuda yang lahir di Makassar dan mengalir darah Minang
dari Ayahnya.
Dalam
adat Minangkabau seorang anak yang terlahir dari Rahim ibu non-Minang, anak
tersebut tidak memiliki suku baik dari pihak Ayah atau Ibu dan tidak juga
berhak atas gelar sako dan pusako hal ini disebabkan masyarakat minang meletakkan
garis keturunan pada Ibu (matrilineal) bukan pada Ayah (Patrilineal).
Hal
inilah yang dialami oleh Zainudin didalam novel Tenggelamnya Kapal Van der
Wijck, Ayahnya telahir sebagai minang
sedangkan sang istri asli Makassar sehingga ketika ia memutuskan pergi
ketempat lahir sang Ayah untuk mengecap bagaimana rasanya memiliki keluarga ia
justru merasa tidak dianggap sebagai orang asli minang, tidak diperlakukan
sebagai saudara dekat dan dijauhi dalam pergaulan muda-mudi Minangkabau pada
saat itu. Ia seakan terusir dinegeri tempat kelahiran Ayahnya sendiri.
Menumbuhkan Semangat
Zainudin
merasa sedih dan putus asa, di negeri Makassar ia juga kerapkali merasa
demikian sebab ada yang mengatakan “Kau ini orang minang Zainudin, bukan orang makassar,”
dan ketika tiba di tanah Minang ia dianggap orang Makassar. Ah, agaknya malang
sekali nasib Abang Zainudin ni. Tetapi tokoh utama yang dituliskan oleh Buya
Hamka ini adalah orang yang berbudi luhur, baik, pelajar agama, santun,
sehingga penduduk minang di tempat ia tinggal juga baik kepadanya. Sampai pada
suatu ketika ia bertemu dengan Hayati, gadis desa yang digambarkan cantik
jelita nan baik budi agama, lukisan alam, lambaian gunung berapi. Bak bunga
layu tersinari matahari begitulah Zainudin bertemu hayati. Hatinya kembali
mekar, semangatnya tumbuh setelah sekian lama lesu.
Kini
Zainduin telah menemukan alasannya untuk bertahan, untuk tetap hidup, Hayati. Perempuan
yang telah menyirami hatinya dengan harapan cinta karena setelah perbincangan
mengalir melalui surat, Hayati pun menyambut cintanya.
Berkhianat?
Demikianlah,
untaian kata yang mereka lakukan untuk saling mengatakan cinta tertuang didalam
surat-surat yang mereka buat. Sangat sederhana, tentang kepeduliaan, rasa iba dan
empati yang bermuara pada kasih sayang. Terkadang saya berpikir bahwa begitu
indah kiranya ketika orang jatuh cinta pada masa dahulu saling menjaga, selalu
melihat batasan-batasan agama. Karena ketika cinta sudah datang tak patut
rasanya dipermainkan atau pun hanya sekedar pelampiasan.
Tibalah
waktu dimana Zainudin akhirnya harus pindah tempat belajar dan berteduh, ia
mendapat nasehat –bila tidak ingin disebut sebagai kata pengusiran—untuk menjauhi
Hayati, perempuan basuku, beradat dan berlembaga. Apalagi memang sang Paman
tidak setuju bila kemenakannya harus menikah dengan seorang laki-laki yang tidak
tentu asal, tak beradat serta tak beruang.
Alangkah
berat langkah kakinya untuk melangkah meninggalkan mentari yang telah memberi
harapan. Namun wanita yang telah bertukar surat dan menumpahkan perasaan
kedalamnya itu berpesan bahwa ia akan tetap setia menunggu kedatangan laki-laki
yang dicintai itu, akan tetap suci hingga Zainudin kembali. Tetapi rupanya
takdir tidak berpihak pada Zainudin, selang beberapa minggu ia dilamar oleh Aziz,
kakak sahabat baik Hayati, Khadijah. Kaya, beradat, dan juga berlembaga
ninik-mamak Hayati pun terpana.
Di saat yang sama Zainudin pun mengungkapkan
lamarannya kepada Paman gadis yang dicintainya itu dengan bermodal tiga ribu
rupiah, dan tentu saja cinta yang begitu besar, tulus, dan sungguh-sungguh.
Duh, teman, jadi agak panjang tulisan
ini. Baiklah, kita akan mempercepatnya.
Hayati
pun menerima pinangan dari Aziz setelah dirayu –bila tidak ingin dikatakan
dipaksa paman—oleh ninik-mamak setelah bermusyawarah. Zainudin ditolak.
Pupus
sudah pengharapan, redup pula mentari yang telah menyinari hidup Zainudin. Ia
pun meminta penjelasan kepada Hayati, bagaimana tentang “kita” akan seperti apa
nasib cinta yang sedang dirawatnya ini yang semakin hari semakin tumbuh dengan
indah. Ia pun segera mendapat jawaban dari Hayati, kekasih yang amat
dicintainya.
Bagai petir menyambar pohon kemudian remuk batang-batangnya,
begitu kiranya hati Zainudin mendapat jawaban Hayati bahwa ia harus mencari wanita
lain, Hayati mengatakan tidak bisa hidup bersama bila tidak meiliki apa-apa, pernikahan
ini adalah pilihan hati yang telah diputuskan matang-matang.
Bangkit
Pupus
sudah harapan. Mentari itu telah benar-benar pergi, dunianya kini begitu gelap.
Zainudin terkulai lemas tak berdaya memikirkan nasibnya. Baimanakah kiranya
menggantikan matahari bila ia tercipta hanya satu. Tidak, tidak mungkin bisa
Zainudin mencari pengganti Hayati gadis yang amat dicintainya.
Begitu menderita
pemuda ini hingga harus menahan sakit
yang sangat dalam berbulan-bulan. Makan tak mau minum pun enggan. Sakit. Ah, harus
seperti apa saya memberikan kata-kata kepada pemuda yang dalam kisahnya begitu
terluka karena cinta. Ia mempunyai niat yang suci tetapi… mungkin belum saatnya
ia merengkuh apa yang menjadi kecintaannya.
Hingga
akhirnya ia pun memilih untuk bangkit kembali, menderita karena wanita yang
mungkin telah berkhianat itu bukanlah pilihan baik. Untuk apa menangisi wanita
yang mungkin sedang bahagia dengan lelaki pilihannya. Untuk apa? Bukankah hidup akan terus berlanjut.
Mawar tak setangkai, kumbang tak seekor.
Gula, Semut dan Hikmah
Teman,
mari kita persingkat. Zainudin kemudian menjadi penulis ternama, disegani,
terhomat, dan tentu saja kaya raya, tapi itu tidak melupakan siapa jati dirinya,
pemuda yang berbudi luhur, santun dan baik hati. Wanita cantik mana yang tidak
akan terpikat dengan seseorang yang mahsyur? Ia seperti gula yang amat disukai
semut.
Ok, skip. Cerita berakhir dengan tenggelamnya
kapal Van der Wijck bersama Hayati dan disusul kemudian oleh Zainudin, seorang yang juga amat dicintainya. Kamu
harus baca bukunya untuk mengetahui lebih detail dari apa yang kita ceritakan
ini.
Ah…
kisah cinta yang mengharukan. Karya sastra yang serat dengan pelajaran dan budaya,
telebih saya dapat banyak mengetahui budaya minang. Maklum, saya adalah lelaki
seperti Zainudin, Ibu saya bukan orang minang tetapi sangat tertarik dengan Budaya
kampung Ayah yang telah cukup banyak melahirkan pejuang kemerdekaan. Dan yang saya sukai adalah penulis buku ini, Buya Hamka. Sastrawan tapi juga Ulama, Ulama,
tapi juga penyair.
Kisah
Zainudin dan Hayati sedikit banyak mungkin memiliki persamaan dengan kisah
kita, hm,
maksudnya kisah muda-mudi zaman sekarang. Terpuruk sebab cinta namun
tidak segera bangkit. Ia lebih memilih tenggelam bersama kenangan yang tidak
akan pernah kembali, membenamkan kepala sangat dalam pada rasa kecewa, kepada
takdir yang mungkin saja tidak berpihak. Hanyut dengan harapan yang telah pupus
dan akhirnya menjadi orang yang pesakitan.
Teman, untuk apa sedih berlama-lama?
Untuk apa?
Bukankah
cukup banyak orang-orang yang kalah dalam percintaan namun menjadi pemimpin,
penyair, pejuang, penulis, pengusaha yang sukses dan menjadi lebih baik? Kita
boleh kecewa, boleh sakit, tetapi jangan biarkan kesedihan itu terus menetap
dan menjadikanmu orang yang hilang. Apalagi, mohon maaf, bila mungkin cinta yang kita tangisi itu tak lebih
lebih hanya sekedar nafsu, ya, kita mulai menjalani cinta dengan melanggar
perintah Allah.
Untuk apa?
Perhatikanlah
sebutir gula mengapa ia digemari semut, mengapa semut mengetahui dimana saja gula
itu berada. Alangkah baiknya kita memperbaiki diri, meluruskan niat dan menguatkan
tekad untuk lebih baik dari sebelumnya. Baguskan diri, kuatkan perjuangan,
perdalam ilmu, capailah kesuksesan dan keridhaan Allah niscaya jodoh yang baik
akan datang padamu.
Ikhlas
memang tidak mudah, tetapi yakin dengan keputusan Allah adalah sebuah pilihan
yang sangat indah. Dan lagi, ketika kelak dipertemukan oleh seseorang yang pada
akhirnya kita jatuh hati, perjuangkanlah, sunguh-sungguh, tidak main-main dan tidak
boleh melanggar batasan di dalam islam seperti pacaran. Sebab bila benar cinta
sejati yang kita cari, kita tidak akan memulainya dengan langkah penakut lagi
pengecut karena lelaki seperti itu tidak masuk kriteria yang ‘Hayati’ cari, bang!
Semoga Allah merahmati Buya Hamka.
Saudaramu,
Harun
Tsaqif
Bagikan
Zainudin, Hayati dan Harapan yang Pupus
4/
5
Oleh
Harun Tsaqif
Tinggalkan kesan.