Ba’da jumat,
sekira pukul 13.15 wib, seperti biasanya, saya mulai menyiapkan materi untuk
disiarkan melalui Udara, menyampaikan beberapa informasi sebelum nanti masuk
kembali pada pembahasan pokok yang telah dikemas dengan rapi. Tidak ada yang
aneh siang itu, berselancar di internet, melipir ke portal berita Nasional
hingga saya melihat photo polisi berambut pirang sedang berkumpul dengan judul,
Sekitar 30 orang Meninggal di Penembakan Masjid Christchurch¸ jantung
kian berdebar kencang tak seirama diikuti ngernyitan dahi lalu kemudian
bertanya, siapa pelaku jahat ini memberondong senjata kearah kaum muslim ketika
mereka sedang melaksanakan ibadah. Kejam sekali. Saya bergumam, semoga Allah
syahidkan para jamaah yang menjadi korban dan menghukum berat sang pelaku.
Siaran pun berlanjut, tersampaikan
apa yang menjadi pokok dari materi, kemudian saya mengambil jeda untuk
menyiapkan materi selanjutnya. Saya kembali membuka media sosial dan melihat sebuah
video yang muncul di time line, penasaran, video apa ini? Kok bawa senjata, kok
gambarnya seperti sedang ngevlog, berjalan ke arah masjid dan langsung
menembaki jamaah sholat jumat yang terlihat olehnya.
Kaget bukan buatan, video ini
menjelaskan dengan sangat terang apa yang terjadi di Masjid Chrischurch New
Zealand yang baru saja saya baca dan amat tidak habis dipikir, pelaku
menyiarkan secara live penembakannya. Biadab, mungkin ini kata yang pas
untuknya. Marah, sedih, sesak, semua bercampur menjadi satu. Entah iblis mana
yang merasukinya ketika itu. Saya berandai-andai kalau saja saya di sana, saya
akan bersembunyi dibalik dinding menunggu kesempatan menikam ia dari belakang
saat laras panjang itu telah kehabisan peluru. Andai saja. Tapi apa saya berani?
Definisi
Teroris
Ialah
Brenton Terrant lelaki usia 28 tahun asal Australia yang menjadi tersangka
penembakan jamaah masjid Al Noor dan masjid Linwood, seorang esktrimis sayap kanan
yang menolak keberadaan kaum imigran khususnya muslim di New Zealand. Kebenciannya
terhadap kaum muslim yang tidak berdasar membuat ia gelap mata dan melakukan
tindakan yang melawan rasa kemanusiaan.
Dari berbagai sudut pandang saya rasa kita sepakat bahwa
Brenton adalah seorang Teroris yang nyata. Ia telah sangat memenuhi defisini
penyebutan seseorang sebagai teroris sebab terorisme adalah puncak aksi
kekerasan, terrorism is the apex of
violence, yang tidak memandang agama atau pun keyakinan yang dimiliki oleh
seseorang. Aksi yang ia lakukan adalah bentuk dari sebuah pemahaman yang sangat
berbahaya yang dapat merusak kerukunan beragama. Kita mengutuk sangat keras apa
yang dilakukan oleh Brenton Terrant dan berharap ia diberikan hukuman seberat-beratnya.
Sangat berat. Mati.
Tetapi ketika kita telah mengetahui definisi teroris bahwa ia
merupakan seorang penebar ketakutan, mengancam keselamatan, membunuh orang yang
tidak bersalah apakah ‘dunia’ menganggap Brenton Terrant sebagai teroris? Sepertinya
jawabannya adalah, tidak.
Kita bisa melihat hal ini dengan bagaimana media-media
memberi judul berita, “Gun Man”, “Pria bersenjata”, “Pelaku Penembakan”, dan
judul-judul pasif lainnya. Dunia tidak menganggap Brenton sebagai Teroris
tetapi hanya sebagai laki-laki yang kebetulan memegang senjata lalu melakukan
pembunuhan. Apa alasannya? Cukup mudah, karena Brenton bukanlah seorang muslim.
Keberpihakan
Media
Beberapa hari
yang lalu, di daerah Sulawasi Utara tepatnya di wilayah Si Bolga seorang Ibu
yang diduga memiliki pemahaman ISIS meledakkan diri dengan anaknya
setelah sebelumnya sang suami ditangkap. Kabar ini pun santer terdengar dan
diliput oleh banyak media nasional. Tidak ada korban jiwa atas kejadian ini
melainkan ratusan warga mengungsi. Media pun berlomba-lomba memberikan judul
yang sangat menarik dibumbui kalimat aktif, Teroris
di Si Bolga Meledakkan diri Bersama anaknya, Istri Terduga Teroris sangat percaya degan Ideologi ISIS, dll.
Kita sangat
mempercayai apa yang dilakukan oleh pelaku di wilayah si bolga adalah
kesalahan, terlebih melibatkan seorang anak dalam aksinya jelas melewati rasa
kemanusiaan. Tetapi mengapa media tidak melabeli tersangka dengan sebutan yang
sama seperti Brenton seperti missal, wanita
pembawa bom, wanita meledakan diri bersama anak, dsb? Mereka lebih memilih menyelipkan
kata teroris di dalamnya. Mari kita bandingkan dengan Brenton Terrant, keduanya
sama-sama salah, sama-sama menakuti dan mengancam keselamatan, tetapi kenapa media
melakukan penyebutan yang berbeda?
Terang sudah kiranya bahwa keberpihakan media sangat nyata
adanya. Tidak bisa dinafikan atau dianggap sebagai kata kebetulan. Seolah-olah
penyebutan terorisme hanya boleh dilakukan ketika pelakunya seorang muslim,
bila bukan, sebut saja selainnya!
Perisai
Pelindung
Kejadian di hari jumat yang lalu menghentakkan
hati kita sebagai seorang muslim,
mengetuk pikiran kita untuk terbuka dan bertanya, mengapa pembantaian terhadap
kaum muslimin terus terjadi dan kita tidak dapat berbuat banyak? Padahal bila
ingin dipaparkan, jumlah kaum muslimin sangat besar, negeri-negeri mereka juga
memiliki pasukan-pasukan yang kuat. Namun lagi-lagi kita tidak dapat berbuat
banyak selain mengutuk dan mengecam.
Kita terjebak
oleh sekat-sekat nasionalisme tempat tinggal, batas negara, kita tidak memiliki
institusi yang dapat menyatukan seluruh kaum muslim di dunia, kita telah
kehilangan perisai pelidung yang membawa kehormatan, keseganan musuh-musuh dan
menghilangkan kedzaliman kaum kafir yakni Khilafah
‘ala minhajin nubuwwah.
Dahulu, di masa Kekhilafahan Turki Utsmani
pada masa kepemimpinan Sultan Abdul Hamid II, Perancis mencoba membuat suatu
acara yang menyulut kemarahan kaum muslim, mereka membuat drama teater, Muhammad dan kefanatikan yang disadur
dari Voltaire, seorang pemikir eropa yang menghina Rasul. Hal ini membuat sang
khalifah geram lalu mengirim surat dan meminta untuk dihentikan. Tetapi alih-alih
membatalkan, sekumpulan orang teater tersebut mengubah tempat acara di Inggris.
Mendengar ia akan mengadakannya kembali di lain tempat setelah dilarang,
Khalifah pun mengirim surat kembali yang isinya kurang lebih Hentikan acara tersebut atau aku katakan kepada
seluruh kaum muslimin untuk mempersiapkan Jihad Akbar. Acara tersebut pun
akhirnya dihentikan.
Sebagaimana dahulu pada masa kejayaan umat islam, institusi Khilafah
berhasil menjaga kerhormatan kaum muslimin, membuat ia ditakuti dan disegani.
Keimanan menyatukan mereka pada panji laa
ilaha illallahu muhamdurasulullah tidak peduli dari mana ia berasal.
Inilah bukti kehebatan Islam, ketika diterapkan oleh Negara.
Tak heran jika Imam Al Ghazali dalam Al
Iqtishad fil I’tiqad menuliskan:
Agama dan
kekuasaan bagaikan saudara kembar, agama
adalah pondasinya dan kekuasaan adalah penjaganya, apa saja yang tidak memiliki
pondasi maka akan hilang dan apa saja yang tidak memiliki penjaga maka akan
hancur.
Hal ini jualah
langkah yang harus kita ambil untuk mengembalikan kewibawaan umat islam, agar
tidak lagi terjadi pembantaian dan penindasan kepada kaum muslimin yang selama
ini terus terjadi.
Saudaramu,
Harun Tsaqif
Bagikan
Jadi, siapa Teroris sebenarnya?
4/
5
Oleh
Harun Tsaqif
Tinggalkan kesan.