Syahdan,
dikisahkan dua remaja tumbuh kembang dalam asuhan yang sama. Mendapatkan cinta
dari lelaki yang menjadi idaman setiap anak seusianya. Siapa yang tidak ingin
di didik oleh lelaki mulia, yang dengannya cahaya iman kian meluas hingga
semenanjung Arab. Ialah Muhammad Shalallahu ‘alahi wa salam.
Dua remaja yang
tak pernah lepas dari pengamatan beliau. Ia berikan cinta juga ilmu pada
mereka, tidak pilih kasih meski satu remaja diantaranya hanya menyandang status
sepupu. Ali bin Abi Thalib namanya. Tumbuh dan berkembang dengan tempaan tangan
penuh cinta yang kelak membuatnya menjadi seorang Khalifah setelah sahabat
mulia Ustman bin Affan.
Satu lagi
remaji yang yang menjadi kecintaan beliau, terlahir dari istri tercinta yang
membantu dakwah Nabi pertama kali ialah Fatimah Az Zahra. Meski mereka tumbuh besar bersama, tidak ada yang tahu
bahwa sebenarnya mereka menyimpan perasaan yang kian berdegup kencang, yang mungkin
bila dijelaskan, akan terlihat jelas rona-rona merah dipipi keduanya. Namun saat
rasa tidak menentu itu singgah, sekuat hati mereka menahan untuk tidak
mengatakan. Walau gelisah kerap kali menghampiri, berazam dalam hati untuk
menjaga perasaan suci ini merupakan perjuangan.
Waktu terus
berjalan bersamaan dengan kematangan ilmu yang mereka miliki. Tiba saatnya
untuk menikah. Abu Bakar maju pertama kali untuk meminta putri Rasulallah
tercinta. Mendengar kabar ini Ali terkejut, tak kuasa menahan sesak, gadis
teman bermain yang juga dicintainya diam-diam ingin dinikahi sahabatnya.
Namun Ali
bukanlah pemuda yang mudah nesatapa dan menangis karena cinta seorang wanita,
ia berlapang dada. “Abu Bakar lebih baik dariku, ia sosok yang membersamai
Rasulallah saat hijrah, hartanya ia habiskan untuk islam, siapa yang meragukan keimanan
Abu Bakar, ia pantas mendapatkannya”
Sepertinya Allah berkehendak lain.
Abu Bakar ditolak oleh Rasulallah. Setelah kabar ini sampai pada Ali, ada sedikit
rasa lega nan membingungkan; mengapa Rasulallah menolak Abu Bakar menjadi
menantunya. Biarlah ini menjadi rahasia
antara Allah dan Rasul.
Ali kembali
bersemangat untuk terus memantaskan diri. Namun kiranya, Ali harus kembali
menahan hati, karna kini giliran Umar yang menyambangi rumah Rasulallah untuk
meminta restu menjadikan Fatimah sebagai istrinya. Umar, yang mendapati gelar
Al Faruq karena keberanian serta kelantangannya memperjuangkan islam. Bahkan,
saat hendak hijrah ke Madinah ia menantang siapa saja yang menghalangi, namun
penduduk mekkah yang tidak beriman enggan.
Ali kembali mencoba untuk berdamai
dengan hati, rivalnya kali ini juga sahabat mulia Rasulallah, bahkan syaitan
lari terbirit-birit saat melihatnya. “Umar
lebih baik dariku” imbuhnya.
Ali pasrah, rasanya ia harus memupus impian untuk menikahi putri
Rasulallah teman kecilnya.
Namun Allah punya rencana lain, Umar
bin Khattab ditolak oleh Rasulallah. Ali yang mendengar kabar ini kembali dibuat
bingung. Siapa sebenarnya yang di ingini Rasulallah untuk menjadi menantunya.
Abu Bakar yang mulia telah datang namun tidak diterima, Umar yang hebat ditolak.
Pemuda seperti apa yang pantas untuk mendampingi Fatimah jika meraka saja
gugur.
Kali ini Ali
memberanikan diri, meski kemungkinan untuk diterima kecil setidaknya ia telah
mencoba untuk memperjuangkan cintanya. Dari hadist riwayat Ummu Salamah
diceritakan bagaimana proses lamarannya.
"Ketika
itu kulihat wajah Rasulullah nampak berseri-seri. Sambil tersenyum baginda
berkata kepada Ali bin Abi Talib, 'Wahai Ali, apakah engkau mempunyai suatu
bekal mas kawin?"
"Demi
Allah," jawab Ali bin Abi Talib dengan terus terang, "Engkau sendiri
mengetahui bagaimana keadaanku, tak ada sesuatu tentang diriku yang tidak
engkau ketahui. Aku tidak mempunyai apa-apa selain sebuah baju besi, sebilah
pedang dan seekor unta."
Rasulallah
terdiam, tak lama memberikan jawaban.
"Tentang
pedangmu itu," kata Rasulullah pada Ali bin Abi Talib, "Engkau tetap
memerlukannya untuk meneruskan perjuangan di jalan Allah. Dan untamu itu engkau
juga perlu untuk keperluan mengambil air bagi keluargamu dan juga engkau
memerlukannya dalam perjalanan jauh. Oleh karena itu, aku hendak menikahkan
engkau hanya atas dasar mas kawin sebuah baju besi saja. Aku puas menerima
barang itu dari tanganmu. Wahai Ali, engkau wajib bergembira, sebab Allah
sebenarnya sudah lebih dahulu menikahkan engkau di langit sebelum aku
menikahkan engkau di bumi!"
Demikianlah
kisah yang memberikan pelajaran tentang cinta, bahwa sesungguhnya cinta adalah
pemantasan serta perjuangan. Ketika tidak bersiap, maka luaskan hati untuk
menerima. Saat sudah siap, apalagi yang ditunggu?
Bagikan
Karena Cinta adalah Kesiapan
4/
5
Oleh
Harun Tsaqif