Minggu, 10 Maret 2019

Zainudin, Hayati dan Harapan yang Pupus



            Sebenarnya saya sudah ada niat beberapa waktu lalu untuk menuliskan ini, tapi rasa-rasanya waktu belum menyempatkan tempatnya untuk menceritakan apa yang saya rasakan setelah membaca novel maha karya dari Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau biasa dikenal dengan Buya Hamka. Novel ini diberi judul, Tenggelamnya Kapal Van der Wijck, sebuah kisah klasik yang ditulis dan belatarbelakang pada tahun 1930 di Negeri Minangkabau. 

Perasaan saya setelah membaca buku ini bercampur aduk antara bahagia dan sedih. Bahagia karena ada seseorang yang telah menuliskan cerita seapik ini, sedih karena beliau telah wafat tiga puluh delapan tahun yang lalu.

Jujur, saya lebih menyukai untuk menyimpan apa yang saya rasakan setelah membaca buku terlebih bergenre fiksi, tetapi buku ini berhasil ‘memaksa’ saya untuk menuliskannya, insya Allah mudah-mudahan ada manfaat yang bisa kita dapat didalamnya.

Terusir

Beberapa tahun lalu mungkin kita sempat mendengar kalimat guyon “Hayati lelah bang!”, “Iya bang Zainudin,” dan mungkin ada kalimat lainnya yang saya tidak terlalu ngeh atau hafal kalau sebenarnya ia adalah plesetan dari kisah yang akhirnya difilmkan tersebut. Di novel ini pemeran utama adalah seorang pemuda yang lahir di Makassar dan mengalir darah Minang dari Ayahnya.
Dalam adat Minangkabau seorang anak yang terlahir dari Rahim ibu non-Minang, anak tersebut tidak memiliki suku baik dari pihak Ayah atau Ibu dan tidak juga berhak atas gelar sako dan pusako hal ini disebabkan masyarakat minang meletakkan garis keturunan pada Ibu (matrilineal) bukan pada Ayah (Patrilineal).

Hal inilah yang dialami oleh Zainudin didalam novel Tenggelamnya Kapal Van der Wijck, Ayahnya telahir sebagai minang  sedangkan sang istri asli Makassar sehingga ketika ia memutuskan pergi ketempat lahir sang Ayah untuk mengecap bagaimana rasanya memiliki keluarga ia justru merasa tidak dianggap sebagai orang asli minang, tidak diperlakukan sebagai saudara dekat dan dijauhi dalam pergaulan muda-mudi Minangkabau pada saat itu. Ia seakan terusir dinegeri tempat kelahiran Ayahnya sendiri.

Menumbuhkan Semangat

Zainudin merasa sedih dan putus asa, di negeri Makassar ia juga kerapkali merasa demikian sebab ada yang mengatakan “Kau ini orang minang Zainudin, bukan orang makassar,” dan ketika tiba di tanah Minang ia dianggap orang Makassar. Ah, agaknya malang sekali nasib Abang Zainudin ni. Tetapi tokoh utama yang dituliskan oleh Buya Hamka ini adalah orang yang berbudi luhur, baik, pelajar agama, santun, sehingga penduduk minang di tempat ia tinggal juga baik kepadanya. Sampai pada suatu ketika ia bertemu dengan Hayati, gadis desa yang digambarkan cantik jelita nan baik budi agama, lukisan alam, lambaian gunung berapi. Bak bunga layu tersinari matahari begitulah Zainudin bertemu hayati. Hatinya kembali mekar, semangatnya tumbuh setelah sekian lama lesu.

Kini Zainduin telah menemukan alasannya untuk bertahan, untuk tetap hidup, Hayati. Perempuan yang telah menyirami hatinya dengan harapan cinta karena setelah perbincangan mengalir melalui surat, Hayati pun menyambut cintanya.


Berkhianat?

Demikianlah, untaian kata yang mereka lakukan untuk saling mengatakan cinta tertuang didalam surat-surat yang mereka buat. Sangat sederhana, tentang kepeduliaan, rasa iba dan empati yang bermuara pada kasih sayang. Terkadang saya berpikir bahwa begitu indah kiranya ketika orang jatuh cinta pada masa dahulu saling menjaga, selalu melihat batasan-batasan agama. Karena ketika cinta sudah datang tak patut rasanya dipermainkan atau pun hanya sekedar pelampiasan.

Tibalah waktu dimana Zainudin akhirnya harus pindah tempat belajar dan berteduh, ia mendapat nasehat –bila tidak ingin disebut sebagai kata pengusiran—untuk menjauhi Hayati, perempuan basuku, beradat dan berlembaga. Apalagi memang sang Paman tidak setuju bila kemenakannya harus menikah dengan seorang laki-laki yang tidak tentu asal, tak beradat serta tak beruang.

Alangkah berat langkah kakinya untuk melangkah meninggalkan mentari yang telah memberi harapan. Namun wanita yang telah bertukar surat dan menumpahkan perasaan kedalamnya itu berpesan bahwa ia akan tetap setia menunggu kedatangan laki-laki yang dicintai itu, akan tetap suci hingga Zainudin kembali. Tetapi rupanya takdir tidak berpihak pada Zainudin, selang beberapa minggu ia dilamar oleh Aziz, kakak sahabat baik Hayati, Khadijah. Kaya, beradat, dan juga berlembaga ninik-mamak Hayati pun terpana. 

Di saat yang sama Zainudin pun mengungkapkan lamarannya kepada Paman gadis yang dicintainya itu dengan bermodal tiga ribu rupiah, dan tentu saja cinta yang begitu besar, tulus, dan sungguh-sungguh.

Duh, teman, jadi agak panjang tulisan ini. Baiklah, kita akan mempercepatnya.

Hayati pun menerima pinangan dari Aziz setelah dirayu –bila tidak ingin dikatakan dipaksa paman—oleh ninik-mamak setelah bermusyawarah. Zainudin ditolak.

Pupus sudah pengharapan, redup pula mentari yang telah menyinari hidup Zainudin. Ia pun meminta penjelasan kepada Hayati, bagaimana tentang “kita” akan seperti apa nasib cinta yang sedang dirawatnya ini yang semakin hari semakin tumbuh dengan indah. Ia pun segera mendapat jawaban dari Hayati, kekasih yang amat dicintainya.

Bagai petir menyambar pohon kemudian remuk batang-batangnya, begitu kiranya hati Zainudin mendapat jawaban Hayati bahwa ia harus mencari wanita lain, Hayati mengatakan tidak bisa hidup bersama bila tidak meiliki apa-apa, pernikahan ini adalah pilihan hati yang telah diputuskan matang-matang.

Bangkit

Pupus sudah harapan. Mentari itu telah benar-benar pergi, dunianya kini begitu gelap. Zainudin terkulai lemas tak berdaya memikirkan nasibnya. Baimanakah kiranya menggantikan matahari bila ia tercipta hanya satu. Tidak, tidak mungkin bisa Zainudin mencari pengganti Hayati gadis yang amat dicintainya. 

Begitu menderita pemuda ini hingga harus menahan sakit yang sangat dalam berbulan-bulan. Makan tak mau minum pun enggan. Sakit. Ah, harus seperti apa saya memberikan kata-kata kepada pemuda yang dalam kisahnya begitu terluka karena cinta. Ia mempunyai niat yang suci tetapi… mungkin belum saatnya ia merengkuh apa yang menjadi kecintaannya.

Hingga akhirnya ia pun memilih untuk bangkit kembali, menderita karena wanita yang mungkin telah berkhianat itu bukanlah pilihan baik. Untuk apa menangisi wanita yang mungkin sedang bahagia dengan lelaki pilihannya. Untuk apa? Bukankah hidup akan terus berlanjut.

Mawar tak setangkai, kumbang tak seekor.

Gula, Semut dan Hikmah

Teman, mari kita persingkat. Zainudin kemudian menjadi penulis ternama, disegani, terhomat, dan tentu saja kaya raya, tapi itu tidak melupakan siapa jati dirinya, pemuda yang berbudi luhur, santun dan baik hati. Wanita cantik mana yang tidak akan terpikat dengan seseorang yang mahsyur? Ia seperti gula yang amat disukai semut.

Ok, skip. Cerita berakhir dengan tenggelamnya kapal Van der Wijck bersama Hayati dan disusul kemudian oleh Zainudin, seorang yang juga amat dicintainya. Kamu harus baca bukunya untuk mengetahui lebih detail dari apa yang kita ceritakan ini.

Ah… kisah cinta yang mengharukan. Karya sastra yang serat dengan pelajaran dan budaya, telebih saya dapat banyak mengetahui budaya minang. Maklum, saya adalah lelaki seperti Zainudin, Ibu saya bukan orang minang tetapi sangat tertarik dengan Budaya kampung Ayah yang telah cukup banyak melahirkan pejuang kemerdekaan. Dan yang saya sukai adalah penulis buku ini, Buya Hamka. Sastrawan tapi juga Ulama, Ulama, tapi juga penyair.

Kisah Zainudin dan Hayati sedikit banyak mungkin memiliki persamaan dengan kisah kita, hm, 
maksudnya kisah muda-mudi zaman sekarang. Terpuruk sebab cinta namun tidak segera bangkit. Ia lebih memilih tenggelam bersama kenangan yang tidak akan pernah kembali, membenamkan kepala sangat dalam pada rasa kecewa, kepada takdir yang mungkin saja tidak berpihak. Hanyut dengan harapan yang telah pupus dan akhirnya menjadi orang yang pesakitan.

Teman, untuk apa sedih berlama-lama?

Untuk apa?

Bukankah cukup banyak orang-orang yang kalah dalam percintaan namun menjadi pemimpin, penyair, pejuang, penulis, pengusaha yang sukses dan menjadi lebih baik? Kita boleh kecewa, boleh sakit, tetapi jangan biarkan kesedihan itu terus menetap dan menjadikanmu orang yang hilang. Apalagi, mohon maaf, bila mungkin cinta yang kita tangisi itu tak lebih lebih hanya sekedar nafsu, ya, kita mulai menjalani cinta dengan melanggar perintah Allah.

Untuk apa?

Perhatikanlah sebutir gula mengapa ia digemari semut, mengapa semut mengetahui dimana saja gula itu berada. Alangkah baiknya kita memperbaiki diri, meluruskan niat dan menguatkan tekad untuk lebih baik dari sebelumnya. Baguskan diri, kuatkan perjuangan, perdalam ilmu, capailah kesuksesan dan keridhaan Allah niscaya jodoh yang baik akan datang padamu.

Ikhlas memang tidak mudah, tetapi yakin dengan keputusan Allah adalah sebuah pilihan yang sangat indah. Dan lagi, ketika kelak dipertemukan oleh seseorang yang pada akhirnya kita jatuh hati, perjuangkanlah, sunguh-sungguh, tidak main-main dan tidak boleh melanggar batasan di dalam islam seperti pacaran. Sebab bila benar cinta sejati yang kita cari, kita tidak akan memulainya dengan langkah penakut lagi pengecut karena lelaki seperti itu tidak masuk kriteria  yang ‘Hayati’ cari, bang!

Semoga Allah merahmati Buya Hamka.


Saudaramu,
Harun Tsaqif

Bagikan

Tulisan Lainnya

Zainudin, Hayati dan Harapan yang Pupus
4/ 5
Oleh

Tinggalkan kesan.