Jumat, 17 Maret 2017

Semua Mahar ini Untukmu




Suatu saat, Salman Al farisi ingin menemui Abu Darda sahabat karibnya, ia ingin bertemu dan berbincang-bincang soal gadis-gadis penduduk Madinah, ada satu wanita yang terus membayangi kepalanya, ada perasaan cinta yang hinggap dan deras di tiap aliran darahnya. Karena ia bukan penduduk asli Madinah, ia hendak meminta bantuan agar kiranya Abu Darda dapat mengantarkan ia kepada orangtua wanita yang diam-diam dicintainya tersebut, dan bersedia untuk menjadi timses dari hati yang ingin segera menikah itu.

Mendengar penuturan sahabat tercintanya, Abu Darda menyanggupi untuk membawa Salman al Farisi kepada wali dari wanita itu. Senang, bahagia menyelimuti hati Salman, ia persiapkan segala keperluan untuk meminang sang gadis pujaan, ia bawa seserahan bahkan mahar untuk menunjukan keseriusan.

Tiba rumah yang dituju. Abu Darda segera menyampaikan maksud kedatangannya beserta sahabatnya itu.

“Semoga diberkahi Allah,” ucap Abu Darda, “dulu kami hina, namun Allah muliakan kami dengan islam,” lanjutnya.

Suasana berlangsung serius, inilah ungkapan kesungguhan yang tidak banyak lelaki berani mengatakan.

“Kedatangan saya kemari, bermaksud meminang putri anda untuk sahabat saya ini” Abu Darda mengarah pada Salman yang agak tersipu malu.

Salman merupakan sahabat yang termasuk dekat dengan Rasulallah, namanya melejit dikitaran sahabat dengan ide cerdiknya menggali parit saat perang Khandaq.

“Merupakan penghormatan bagi kami di datangi dua sahabat mulia Nabi, kami sangat senang dengan itikad baik ini. Menyoal keinginan mulia tersebut”  sang Ayah melanjutkan, “kami akan membicarakannya langsung kepada putri kami agar ia yang memutuskan.” 

Mereka sepakat. Bagaimanapun keputusan untuk menerima atau tidak ada ditangan si anak, orangtua hanya menjadi perantara dari kesungguhan seorang lelaki yang hendak meminang.

Segera ia menuju tempat putrinya yang sedari tadi mendengarkan perbincangan membahagiakan hati.
Abu Darda dan Salman saling menoleh, harap-harap cemas terus berjalan di fikirannya.

“Bagaimana Nak” tanya sang Ayah kepada putri tercintanya, “dua sahabat Rasulullah datang, dan salahsatunya ingin menjadikanmu istrinya.”

“Ayah, aku sangat senang, sebentar lagi akan ada laki-laki yang membersamaiku,” tutur si gadis, “tapi aku mencintai dan hanya mau menikah dengan lelaki yang sedari tadi berbicara denganmu.”

Glek. si Ayah bingung. Bagaimana mengatakan kepada mereka yang sedang menunggu jawaban, bahwa putri kesayangannya memilih Abu Darda bukan Salman!

Keputusan ini mau tidak mau harus disampaikan, sebagai orangtua ia sangat mengerti bahwa tidak baik menggantung jawaban.

Orangtua wanita pujaan Salman kembali memadati ruang temu. Abu Darda dan Salman gembira, akhirnya jawaban yang dinanti akan segera ia dapatkan.

“Kami telah berbicara dengan putri kami, itikad baik ini seharusnya memang harus disegerakan. Tapi..,” kedua pemuda itu menyimak, “putri kami hanya mau menerima bila yang dimaksud adalah Abu Darda.”  

Seisi ruangan menjadi senyap mendengar jujur penuturanya. Iya, lebih baik berbicara apa adanya meski mungkin menyakiti hati.

Abu Darda menoleh pada Salman yang masih terdiam setelah mendengarkan jawaban.
“Salman,” belum sempat Abu Darda melanjutkan. Wajah sahabatnya seketika berbinar-binar, senyumnya merekah-menyenangkan.

“Baiklah,”ucap Salman, “ini adalah hari yang baik dengan tujuan yang baik, kau adalah sahabatku, wanita itu telah memilihmu. Oleh karenanya semua mahar yang telah kubawa untukmu,  untuk melangsungkan pernikahanmu.

Salman al Farisi teguh, tidak sedikitpun rasa kecewa berhasil mengalahkannya. Sahabat shalih yang mengajak taat, lebih baik dari satu wanita yang ingin dinikahinya. Setidaknya, anggapan bahwa wanita baik dan shalihah masih tersedia, benar adanya.


Inilah cinta yang mengutamakan Allah, inilah cinta yang di dalamnya ikhlas teruji, inilah cinta yang mengajarkan kita untuk menerima dan mencintai kehilangan, sebab Allah pasti akan menggantinya dengan yang lebih baik. 

Bagikan

Tulisan Lainnya

Semua Mahar ini Untukmu
4/ 5
Oleh

Tinggalkan kesan.