Selasa, 19 Maret 2019

Jadi, siapa Teroris sebenarnya?



            Ba’da jumat, sekira pukul 13.15 wib, seperti biasanya, saya mulai menyiapkan materi untuk disiarkan melalui Udara, menyampaikan beberapa informasi sebelum nanti masuk kembali pada pembahasan pokok yang telah dikemas dengan rapi. Tidak ada yang aneh siang itu, berselancar di internet, melipir ke portal berita Nasional hingga saya melihat photo polisi berambut pirang sedang berkumpul dengan judul, Sekitar 30 orang Meninggal di Penembakan Masjid Christchurch¸ jantung kian berdebar kencang tak seirama diikuti ngernyitan dahi lalu kemudian bertanya, siapa pelaku jahat ini memberondong senjata kearah kaum muslim ketika mereka sedang melaksanakan ibadah. Kejam sekali. Saya bergumam, semoga Allah syahidkan para jamaah yang menjadi korban dan menghukum berat sang pelaku.

Siaran pun berlanjut, tersampaikan apa yang menjadi pokok dari materi, kemudian saya mengambil jeda untuk menyiapkan materi selanjutnya. Saya kembali membuka media sosial dan melihat sebuah video yang muncul di time line, penasaran, video apa ini? Kok bawa senjata, kok gambarnya seperti sedang ngevlog, berjalan ke arah masjid dan langsung menembaki jamaah sholat jumat yang terlihat olehnya.

Kaget bukan buatan, video ini menjelaskan dengan sangat terang apa yang terjadi di Masjid Chrischurch New Zealand yang baru saja saya baca dan amat tidak habis dipikir, pelaku menyiarkan secara live penembakannya. Biadab, mungkin ini kata yang pas untuknya. Marah, sedih, sesak, semua bercampur menjadi satu. Entah iblis mana yang merasukinya ketika itu. Saya berandai-andai kalau saja saya di sana, saya akan bersembunyi dibalik dinding menunggu kesempatan menikam ia dari belakang saat laras panjang itu telah kehabisan peluru. Andai saja. Tapi apa saya berani?

Definisi Teroris

            Ialah Brenton Terrant lelaki usia 28 tahun asal Australia yang menjadi tersangka penembakan jamaah masjid Al Noor dan masjid Linwood, seorang esktrimis sayap kanan yang menolak keberadaan kaum imigran khususnya muslim di New Zealand. Kebenciannya terhadap kaum muslim yang tidak berdasar membuat ia gelap mata dan melakukan tindakan yang melawan rasa kemanusiaan.

Dari berbagai sudut pandang saya rasa kita sepakat bahwa Brenton adalah seorang Teroris yang nyata. Ia telah sangat memenuhi defisini penyebutan seseorang sebagai teroris sebab terorisme adalah puncak aksi kekerasan, terrorism is the apex of violence, yang tidak memandang agama atau pun keyakinan yang dimiliki oleh seseorang. Aksi yang ia lakukan adalah bentuk dari sebuah pemahaman yang sangat berbahaya yang dapat merusak kerukunan beragama. Kita mengutuk sangat keras apa yang dilakukan oleh Brenton Terrant dan berharap ia diberikan hukuman seberat-beratnya. Sangat berat. Mati.

Tetapi ketika kita telah mengetahui definisi teroris bahwa ia merupakan seorang penebar ketakutan, mengancam keselamatan, membunuh orang yang tidak bersalah apakah ‘dunia’ menganggap Brenton Terrant sebagai teroris? Sepertinya jawabannya adalah, tidak.

Kita bisa melihat hal ini dengan bagaimana media-media memberi judul berita, “Gun Man”, “Pria bersenjata”, “Pelaku Penembakan”, dan judul-judul pasif lainnya. Dunia tidak menganggap Brenton sebagai Teroris tetapi hanya sebagai laki-laki yang kebetulan memegang senjata lalu melakukan pembunuhan. Apa alasannya? Cukup mudah, karena Brenton bukanlah seorang muslim.

Keberpihakan Media

            Beberapa hari yang lalu, di daerah Sulawasi Utara tepatnya di wilayah Si Bolga seorang Ibu yang diduga memiliki pemahaman ISIS meledakkan diri dengan anaknya setelah sebelumnya sang suami ditangkap. Kabar ini pun santer terdengar dan diliput oleh banyak media nasional. Tidak ada korban jiwa atas kejadian ini melainkan ratusan warga mengungsi. Media pun berlomba-lomba memberikan judul yang sangat menarik dibumbui kalimat aktif, Teroris di Si Bolga Meledakkan diri Bersama anaknya, Istri Terduga Teroris sangat percaya degan Ideologi ISIS, dll.

            Kita sangat mempercayai apa yang dilakukan oleh pelaku di wilayah si bolga adalah kesalahan, terlebih melibatkan seorang anak dalam aksinya jelas melewati rasa kemanusiaan. Tetapi mengapa media tidak melabeli tersangka dengan sebutan yang sama seperti Brenton seperti missal, wanita pembawa bom, wanita meledakan diri bersama anak, dsb? Mereka lebih memilih menyelipkan kata teroris di dalamnya. Mari kita bandingkan dengan Brenton Terrant, keduanya sama-sama salah, sama-sama menakuti dan mengancam keselamatan, tetapi kenapa media melakukan penyebutan yang berbeda?

Terang sudah kiranya bahwa keberpihakan media sangat nyata adanya. Tidak bisa dinafikan atau dianggap sebagai kata kebetulan. Seolah-olah penyebutan terorisme hanya boleh dilakukan ketika pelakunya seorang muslim, bila bukan, sebut saja selainnya!

Perisai Pelindung

            Kejadian di hari jumat yang lalu menghentakkan hati kita sebagai seorang  muslim, mengetuk pikiran kita untuk terbuka dan bertanya, mengapa pembantaian terhadap kaum muslimin terus terjadi dan kita tidak dapat berbuat banyak? Padahal bila ingin dipaparkan, jumlah kaum muslimin sangat besar, negeri-negeri mereka juga memiliki pasukan-pasukan yang kuat. Namun lagi-lagi kita tidak dapat berbuat banyak selain mengutuk dan mengecam.

Kita terjebak oleh sekat-sekat nasionalisme tempat tinggal, batas negara, kita tidak memiliki institusi yang dapat menyatukan seluruh kaum muslim di dunia, kita telah kehilangan perisai pelidung yang membawa kehormatan, keseganan musuh-musuh dan menghilangkan kedzaliman kaum kafir yakni Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah.

            Dahulu, di masa Kekhilafahan Turki Utsmani pada masa kepemimpinan Sultan Abdul Hamid II, Perancis mencoba membuat suatu acara yang menyulut kemarahan kaum muslim, mereka membuat drama teater, Muhammad dan kefanatikan yang disadur dari Voltaire, seorang pemikir eropa yang menghina Rasul. Hal ini membuat sang khalifah geram lalu mengirim surat dan meminta untuk dihentikan. Tetapi alih-alih membatalkan, sekumpulan orang teater tersebut mengubah tempat acara di Inggris. Mendengar ia akan mengadakannya kembali di lain tempat setelah dilarang, Khalifah pun mengirim surat kembali yang isinya kurang lebih Hentikan acara tersebut atau aku katakan kepada seluruh kaum muslimin untuk mempersiapkan Jihad Akbar. Acara tersebut pun akhirnya dihentikan.

Sebagaimana dahulu pada masa kejayaan umat islam, institusi Khilafah berhasil menjaga kerhormatan kaum muslimin, membuat ia ditakuti dan disegani. Keimanan menyatukan mereka pada panji laa ilaha illallahu muhamdurasulullah tidak peduli dari mana ia berasal.

Inilah bukti kehebatan Islam, ketika diterapkan oleh Negara. Tak heran jika Imam Al Ghazali dalam Al Iqtishad fil I’tiqad menuliskan:

Agama dan kekuasaan bagaikan saudara kembar,  agama adalah pondasinya dan kekuasaan adalah penjaganya, apa saja yang tidak memiliki pondasi maka akan hilang dan apa saja yang tidak memiliki penjaga maka akan hancur.

Hal ini jualah langkah yang harus kita ambil untuk mengembalikan kewibawaan umat islam, agar tidak lagi terjadi pembantaian dan penindasan kepada kaum muslimin yang selama ini terus terjadi.


Saudaramu,
Harun Tsaqif

Bagikan

Tulisan Lainnya

Jadi, siapa Teroris sebenarnya?
4/ 5
Oleh

Tinggalkan kesan.