Beberapa waktu lalu saya ikut Sekolah Pedoman
Prilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) yang di adakan Komisi
Penyiaran Indonesia. Pembahasan yang dituturkan oleh pemateri tentang dunia
pertelevisian dan radio membuka cakrawala berfikir kami; “ternyata semua
tayangan baik di Radio ataupun Televisi memiliki regulasi/aturan sesuai
undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran. Bukan hanya itu,
tayangan-tayangan yang mengandung unsur kekerasan melebihi batas, praktik
bulying dan juga pornografi akan diberikan sanksi berupa teguran tertulis
sampai pemberhentian program.
Kami sempat diberikan kesempatan untuk
menganalisis dan menjatuhkan sanksi beberapa tayangan yang kedapatan mengandung
unsur itu semua. Tentu saja ini hanya tes, sejauh mana kami memahami
undang-undang tentang penyiaran.
Namun yang lebih menarik, meski Komisi Penyiaran
Indonesia telah berupaya sedemikian rupa untuk menjaga tayangan agar tetap
ramah anak dan keluarga, tetap saja masih ada tayangan yang ‘bandel’ dan
perlahan memasukkan unsur-unsur yang sebenarnya tidak di perbolehkan. Alhasil,
cukup banyak diantara generasi ini atau bahkan kita sendiri yang merefleksikan
tontonan menjadi sebuah tuntunan. Pun, sayangnya, peran Komisi Penyiaran
Indonesia dalam menjaga tayangan berada di pasca tayang atau setelah muncul di
televisi baru bisa mengambil tindakan. Iya, seperti itulah aturan yang sudah
berlaku dan baku.
Mewakili suara ibu-ibu dan tentu saja para Ayah yang
peduli akan perkembangan dan pertumbuhan anak. Kami sempat berdiskusi banyak
hal, termasuk membicarakan tentang tayangan suatu program atau sinetron yang
tidak mendidik; bisakah diberhentikan saja? Tentu saja tidak, sebab
sejatinya frekuensi itu milik publik, maka masyarakatlah yang harus cerdas
dalam memilih tayangan.
Namun lagi-lagi, kita disesalkan oleh pilihan, jika
mau jujur ada berapa televisi yang menayangkan program-program mencerdaskan?
Tidak banyak. Belum lagi pertelevisian kini mengacu pada Rating, semakin tinggi
Rating sebuah tayangan maka semakin banyak pula iklan di dapatkan. Itu tandanya
program mereka akan kebanjiran uang. Hal tersebut belakangan memunculkan
istilah “yang penting rating, cerdas gak cerdas belakangan.”
Mau tidak mau sebagai pemegang kendali frekuensi,
tanpa sadar kita di jejali dengan berbagai macam bualan bahwa tayangan itu
hanya untuk hiburan.
Sudah saatnya kita cerdas dalam mengkonsumsi
tayangan. Jangan sampai anak-anak atau bahkan kita sendiri terpapar khayalan
bahwa TV itu bisa mencerdaskan. Bila memang ada, kemungkinan itu sedikit
sekali. Inilah yang terjadi apabila kehidupan kita diatur oleh selain islam
jauh dari kata aman bahkan nyaman, terutama dalam menyaksikan siaran.
Bagikan
Ilusi Tayangan Mencerdaskan
4/
5
Oleh
Harun Tsaqif
Tinggalkan kesan.